Sunday, 5 May 2013
BICARA SD
KETERAMPILAN BERBICARA
DI SEKOLAH DASAR
Disampai pada Bimtek Guru SD Kelas V dan IV Se-Provinsi Jambi
Tanggal 18 s.d. 22 Februari 20013 di LPMP Jambi
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN BAHASA
20013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 1
KETERAMPILAN BERBICARA 2
I. PENDAHULUAN 2
A. Latar Belakang 2
B. Ruang Lingkup 2
II. BERBICARA 3
A. Pengertian Berbicara 3
B. Peranan Berbicara 4
C. Faktor-faktor Penentu Kegiatan Berbicara 5
D.Jenis – Jenis Kegiatan Berbicara 14
DAFTAR PUSTAKA 21
KETERAMPILAN BERBICARA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rata-rata anak masuk sekolah dasar (SD), terutama yang berada di kota-kota besar, sudah dapat berbahasa Indonesia sebagaimana orang dewasa. Sudah dapat atau sudah mampu diartikan sebagai kemampuan atau kompetensi menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi sehari-hari, misalnya untuk berbincang-bincang dengan tetangga, teman seper mainan dan yang lainnya.
Akan tetapi , ini baru salah satu segi dari sisi kemampuan berbahasa Indonesia. Seorang yang mahir berbahasa di dalam berkomunikasi dengan tetangganya atau dengan temannya belum tentu mampu untuk menggunakan bahasa Indonesia untuk berpidato pada suatu upacara. Kemampuan berbicara pada situasi takformal seperti pada berbincang-bincang dengan teman atau dengan tetangga itu tidak sama dengan kemampuan berbahasa Indonesia (berbicara) pada situasi formal.
Kemampuan berbahasa ragam formal tidak akan dapat diperoleh dengan sendirinya. Kemampuan ini diraih lewat jalur sekolah, lewat program yang direncanakan secara khusus, dan lewat latihan-latihan.
Bahasa sebagai alat komunikasi dilakukan melalui berbagai kegiatan yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Kegiatan yang taktis dan praktis untuk melaksanakan kegiatan tersebut ialah berbicara. Di mana saja, kapan saja, dan siapa saja berbicara dapat dilakukan. Bahkan terhadap bayi yang belum mampu berbahasa pun orang menyapa dengan bahasa.
Oleh karena itu, guru yang mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia ( dengan fokus berbicara) diharapkan dapat memberikan dorongan kepada siswa melalui perencanaan dan pelaksanaan pemelajaran bahasa Indonesia dengan baik.
B. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pembahasan pada bahan ajar ini mencakupi hal-hal sebagi berikut : Bahan ajar ini diawali dengan informasi mengenai latar belakang pembelajar bahasa Indonesia khususnya “berbicara”, dan tujuannya. Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai materi berbicara yang terdiri atas: konsep berbicara, peranan berbicara, faktor-faktor penentu kegiatan berbicara, tujuan berbicara, jenis berbicara. Bagian berikutnya adalah pembelajaran berbicara yang mencakupi : pemilihan materi, metode, dan penilaian. Bagian yang terakhir adalah rangkuman. Untuk melengkapi bahan ajar ini, disajikan bahan evaluasi.
II. BERBICARA
A. Pengertian Berbicara
Seperti telah kita ketahui bahwa dalam kegiatan menyimak aktivitas kita awali dengan mendengarkan dan diakhiri dengan memahami atau menanggapi. Kegiatan berbicara tidak demikian . Kegiatan berbicara diawali dari suatu pesan yang harus dimiliki pembicara yang akan disampaikan kepada penerima pesan agar penerima pesan dapat menerima atau memahami isi pesan itu.
Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan hubungan dan kerja sama denagn manusia lain. Hubungan dengan manusia lainnya itu antara lain berupa menyampaikan isi pikiran dan persaan, menyampaikan suatu informasi, ide atau gagasan serta pendapat atau pikiran dengan suatu tujuan.
Dalam menyampaikan pesan seseorang menggunakan suatu media atau alat yaitu bahasa, dalam hal ini bahasa lisan. Seorang yang akan menyampaikan pesan tersebut mengharapkan agar penerima pesan dapat memahaminya. Pemberi pesan disebut juga pembicara dan penerima pesan disebut penyimak atau pendengar. Peristiwa proses penyampaian pesan secara lisan seperti itu disebut berbicara. Dengan rumusan lain dapat dikemukakan bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan.
Anda sudah tidak asing lagi mendengar atau membaca istilah “berbicara” dan bahkan Anda setiap saat melakukan bicara. Nina dikatakan “berbicara” ketika ia mengucapkan salam kepada ibunya. “Assalamualaikum.” Ibu Rita dikatakan “berbicara” ketika membicarakan kenaikan harga minyak tanah dalam pengajian. Ketua RT (Rukun Tetangga) dikatakan “berbicara” ketika mengajak warganya untuk bekerja bakti membersihkan jalan dan selokan air dalam rangka menyambut hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indnesia. Dihan dikatakan “berbicara” ketika ia bertanya kepada gurunya tentang pelajaran yang ia belum ketahui. Anda dikatakan “berbicara” ketika Anda menjelaskan atau menjawab pertanyaan siswa Anda.
Lalu, apakah berbicara itu? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Anton M. Moeliono, dkk., 1998:114) dinyatakan bahwa berbicara adalah berkata; bercakap; berbahasa; melahirkan pendapat dengan perkataan, tulisan dan sebagainya atau berunding.
Guntur Tarigan (1983 :15) berpendapat bahwa “ berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan , menyatakan serta menyampaikan pikiran , gagasan, dan perasaan”. Sedangkan sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sang pendengar atau penyimak.
Jadi, pada hakikatnya berbicara merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima pesan atau informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan persendian. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, berbicara itu dapat dibantu dengan mimik dan pantomimik pembicara.
Kemampuan berbicara merupakan tuntutan utama yang harus dikuasai oleh seorang guru. Jika seorang guru menuntut siswanya dapat berbicara dengan baik, maka guru harus memberi contoh berbicara yang baik hal ini menunjukkan bahwa di samping menguasai teori berbicara juga terampil berbicara dalam kehidupan nyata. Guru yang baik harus dapat mengekspresikan pengetahuan yang dikuasainya secara lisan.
B. Peranan Berbicara
Telah Anda ketahui bahwa berbicara dan menyimak atau mendengarkan merupakan dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan. Melalui berbicara seseorang menyampakan informasi kepada orang lain. Begitu juga melalui menyimak atau mendengarkan seseorang menerima informasi dari orang lain. Kegiatan berbicara senantiasa diikuti kegiatan mendengarkan atau menyimak. Kedua kegiatan tersebut tidak dapat dipisahkan dan fungsional bagi komunikasi, baik komunikasi antarindividu, kelompok maupun sosial.
Seseorang yang memiliki keterampilan berbicara yang baik biasanya menjadi penyimak yang baik. Begitu pula sebaliknya, seorang penyimak yang baik akan menjadi pembicara yang bailk pula. Pembicara yang baik akan berusaha agar penyimaknya dengan mudah dapat menangkap isi pembicaraannya. Berbicara dan menyimak atau mendengarkan merupakan kegiatan komunikasi dua arah. Keefektifan berbicara tidak hanya ditentukan oleh pembicaranya saja, tetapi juga oleh penyimaknya. Jadi keterampilan tersebut saling menunjang.
Keterampilan berbicara juga menunjang keterampilan menulis. Kegiatan berbicara mempunyai kesamaan dengan kegiatan menulis, yaitu seseorang berusaha menyampaikan pesan atau ide dengan bahasa yang baik dan benar serta uraian yang sistematis agar mudah dipahami oleh pendengar atau pembacanya. Seorang yang memiliki keterampilan berbicara yang baik diduga akan memiliki keterampilan menulis yang baik pula. Hasil bicara seseorang bila direkam dan disalin kembali sudah merupakan tulisan. Penggunaan bahasa dalam berbicara banyak kesamaannya dengan penggunaan bahasa dalam tulisan atau bacaan. Kegiatan berbicara juga menunjang kegiatan membaca. Untuk dapat berbicara, seorang pembicara terlebih dahulu harus memiliki ide, pengetahan, atau informasi yang akan disampaikan kepada orang lain secara lisan. Ide, pengetahuan, atau informasi itu diperoleh dari pembicara antara lain dari kegiatan membaca. Pembaca yang bak akan memperoleh pengetahuan yang akan menjadi bahan pembicaraaannya. Pembicara tentu akan senantiasa melakukan kegiatan membaca dengan baik agar ia dapat memiliki pengetahuan itu. Pembaca yang baik juga akan menjadi pembicara yang baik atau sebaliknya.
Para pelajar, guru, dan kaum cendikia dituntut memiliki keterampilan berbicara. Mereka harus mengekspresikan pengetahuannya dalam forum tertentu seperti seminar, diskusi, ceramah, pidato, rapat, dan lain sebagainya. Mereka harus pandai menjelaskan, berargumentasi, menggambarkan tentang sesuatu atau menarik perhatian orang lain. Untuk kegiatan itu semua diperlukan keterampilan berbicara.
Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari sehubungan dengan pekerjaan atau profesi, kita harus terampil berbicara. Sebagai guru, keterampilan berbicara sangat penting untuk menjelaskan pelajaran kepada siswa. Sebagai pejabat pemerintah, keteramplan berbicara sangat penting untuk keperluan menjelaskan, meyakinkan, memberikan dorongan kepada pegawai atau rakyatnya.
Sebagai pemimpin perusahaan, keterampilan berbicara sangat diperlukan untuk berhubungan dengan bawahan, atasan dan relasi. Pada prinsipnya semua orang memerlukan keterampilan berbicara untuk kelangsungan hidupnya.
Dari urain di atas dapat disimpulkan peran berbicara sebagai berikut
(1) sarana komunikasi lisan;
(2) menunjang keterampilan menyimak, membaca, dan menulis;
(3) mengekspresikan pengetahuan secara lisan;
(4) menunjang keterampilan profesional.
C. Faktor-faktor Penentu Kegiatan Berbicara
Dalam kegiatan berbicara ada faktor yang perlu diperhatikan. Yaitu: (1) pembicara, dan (2) pendengar. Kedua faktor tersebut akan menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan berbicara. Di bawah ini kedua faktor tersebut akan dibahas satu persatu.
1. Pembicara
Pembicara adalah satu faktor yang menimbulkan terjadinya kegiatan berbicara. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pembicara untuk melakukan kegiatannya, yaitu: (1) pokok pembicaraan (2) metode, (3) bahasa, (4) tujuan, (5) sarana, (6) interaksi
Keenam hal itu akan dibicarakan lebih mendalam sebagai berikut.
(1) Pokok Pembicaraan
Isi atau peasan yang menjadi pokok pembicaraan hendaknya memperhatikan hal-hal berikut ini.
(a) Pokok pembicaraan bermanfaat bagi pendengar baik berupa informasi maupun pengetahuan.
(b) Pokok pembicaraan hendaknya serba sedikit sudah diketahui dan bahan untuk memperluas pembicaraan yang sudah diketahui itu lebih mudah diperoleh.
(c) Pokok pembicaraan menarik untuk dibahas baik oleh pembicara maupun bagi pendengar. Pokok pembicaraan yang menarik biasanya pokok pembicaraan seperti berikut:
• merupakan masalah yang menyangkut kepentingan bersama;
• merupakan jalan keluar dari suatu persoalan yang tengah dihadapi;
• merupakan persoalan yang ramai dibicarakan dalam masyarakat atau persoalan yang jarang terjadi;
• mengandung konflik atau pertentangan pendapat.
(d) Pokok pembicaraan hendaknya sesuai dengan daya tangkap pendengar; tidak melebihi daya intelektual pendengar atau sebaliknya, lebih mudah.
(2) Metode
Ada empat cara atau metode yang dapat atau biasa digunakan orang dalam menyampaikan pembicaraan, yaitu:
(a) Metode Impromptu ‘Serta Merta’
Dalam hal ini pembicara tidak melakukakan persiapan lebih dulu sebelum berbicara, tetapi secara serta merta atau mendadak berbicara berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya. Pembicara menyampaikan pengetahuannya yang ada, dihubungkan dengan situasi dan kepentingan saat itu.
(b) Metode Menghafal
Pembicara sebelum melakukan kegiatannya melakukan persiapan secara tertulis, kemudian dihafal kata demi kata, kalimat demi kalimat. Dalam penyampaiannya pembicara tidak membaca naskah. Ada kecenderungan pembicara berbicara tanpa menghayati maknanya, berbicara terlalu cepat. Hal itu dapat menjemukan, tidak menarik perhatian pendengar. Mungkin juga ada pembicara yang berhasil dengan metode ini. Metode ini biasanya digunakan oleh pembicara pemula atau yang masih belum biasa berbicara di depan orang banyak.
(c) Metode Naskah
Pada metode ini pembicara sebelum berbicara terlebih dulu menyiapkan naskah. Pembicara membacakan naskah itu di depan para pendengarnya. Hal ini dapat kita perhatikan pada pidato resmi Presiden di depan anggota DPR/MPR, pidato pejabat pada upacara resmi. Pembicara harus memiliki kemampuan menempatkan tekanan, nada, intonasi, dan ritme. Cara ini sering kurang komunikatif dengan pendengarnya karena mata dan perhatian pembicara selalu ditujukan ke naskah. Oleh karena itu, apabila akan menggunakan metode harus melakukan latihan yang intensif.
(d) Metode Ekstemporan
Dalam hal ini pembicara sebelum melakukan kegiatan berbicara terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan cermat dan membuat catatan penting. Catatan itu digunakan sebagai pedoman pembicara dalam melakukan pembicaraannya. Dengan pedoman itu pembicara dapat mengembangkannya secara bebas.
(3) Bahasa
Bagi pembicara, bahasa merupakan suatu alat untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Oleh karena itu, pembicara mutlak harus menguasai faktor kebahasaan. Di samping itu, pembicara juga harus menguasai faktor nonkebahasaan. Faktor-faktor tersebut akan dibahas berikut ini.
a. Faktor Kebahasaan
Faktor kebahasaan yang terkait dengan keterampilan berbicara antara lain sebagai berikut.
(1) Ketepatan pengucapan atau pelafalan bunyi
Pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan berlatih mengucapkan bunyi-bunyi bahasa. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perhatian pendengar. Memang pola ucapan dan artikulasi yang kita gunakan tidak selalu sama, masing-masing kita mempunyai ciri tersendiri. Selain itu ucapan kita juga sering dipengaruhi oleh bahasa ibu. Akan tetapi, jika perbedaan itu terlalu mencolok sehingga menjadi suatu penyimpangan, maka keefekvifan komunikasi akan terganggu.
Sampai saat ini lafal bahasa Indonesia belum dibakukan, namun usaha ke arah itu sudah lama dikemukakan adalah bahwa ucapan atau lafal yang baku dalam bahasa Indonesia adalah ucapan yang bebas dari ciri-ciri lafal dialek setempat atau ciri-ciri lafal daerah.
Di bawah ini disajikan pelafalan huruf, sukukata dan kata yang belum sesuai dengan pelafalan bunyi bahasa Indonesia.
(a) Pelafalan /c/ dengan /se/
WC dilafalkan /we –se/ seharusnya we-ce
AC dilafalkan /A-se/ seharusnya /A-ce/
TC dilafalkan /Te-se/ seharusnya /Te-ce/
(b) Pelafalan /q/ dengan /kiu/
MTQ dilafalkan / Em-te-kiu/ seharusnya /Em-te-ki
PQR dilafalkan /Pe-kiu-er/ seharusnya /Pe-ki-er/
(c) Pelafalan /e/ sebagai /e’/ taling
dengan dilafalkan denga / dEngan / seharusnya / d ngan /
ke mana dilafalkan ke mana / kE mana / seharusnya /k mana/
berapa dilafalkan berapa /bErapa / seharusnya / b rapa /
esa dilafalkan esa / Esa / seharusnya / sa /
ruwet dilafalkan /ruwEt / seharusnya / ruw t /
peka dilafalkan / pe – ka / seharusnya peka
lengah dilafalkan / l nah / seharusnya lengah /lEngah/
(d) Pelafalan diftong /au/ dengan /o/
kalau dilafalkan / kalo / seharusnya / kalaw/
saudara dilafalkan / sodara / seharusnya / sawdara /
(e) Pelafalan diftong /ai / sebagai /e /
Pakai dilafalkan / pake/ seharusnya / pakay /
balai dilafalkan / bale / seharusnya / balay /
(f) Pelafalan / k / dengan bunyi tahan glotal (hamzah)
pendidikan dialafalkan / pendidi an / seharusnya /pendidikan/
kemasukan dilafalka kemasu an / seharusnya kemasukan /
Tahun dilafalkan / tahun / seharusnya / taun /
Lihat dilafalkan / lihat / seharusnya / liat /
Pahit dilafalkan / pahit / seharusnya / pait /
(2) Penempatan Tekanan, Nada, Jangka, Intonasi dan Ritme
Penempatan tekanan, nada, jangka, intonasi dan ritme yang sesuai akan merupakan daya tarik tersendiri dalam benrbicara; bahkan merupakan faktor penentu dalam keefektivan berbicara. Suatu topik pembicaraan mungkin akan kurang menarik, namun dengan tekanan, nada, jangka dan intonasi yang sesuai akan mengakibatkan pembicaraan itu menjadi menarik. Sebaliknya, apabila penyampaiannya datar saja, dapat menimbulkan kejemuan bagi pendengar dan keefektivan berbicara akan berkurang.
Kekurangtepatan dalam penempatan tekanan, nada, jangka, intonasi, dan ritme dapat menimbulkan perhatian pendengar beralih kepada cara berbicara pembicara, sehingga topik atau pokok pembicaraan yang disampaikan kurang diperhatikan. Dengan demikian keefektivan berbicara menjadi terganggu.
(3) Pemilihan kata dan ungkapan yang baik, Konkret, dan bervariasi
Kata dan ungkapan yang kita gunakan dalam berbicara hendaknya baik, konkret, dan bervariasi. Pemilihan kata dan ungkapan yang baik, maksudnya adalah pemilihan kata yang tepat dan sesuai dengan keadaan para pendengarnya. Misalnya, jika yang menjadi pendengarnya para petani, maka kata-kata yang dipilih adalah kata-kata atau ungkapan yang mudah dipahami oleh para petani.
Pemilihan kata dan ungkapan harus konkret, maksudnya pemilihan kata atau ungkapan harus jelas, mudah dipahami para pendengar. Kata-kata yang jelas biasanya kata-kata yang sudah dikenal oleh pendengar yaitu kata-kata popular. Pemilihan kata atau ungkapan yang abstrak akan menimbulkan kekurangjelasan pembicaraan.
Pemilihan kata dan ungkapan yang bervariasi, maksudnya pemilhan kata atau ungkapan dengan bentuk atau kata lain lebih kurang maknanya sama dengan maksud agar pembicaraan tidak menjemukan pendengar.
(4) Ketepatan Susunan Penuturan
Susunan penuturan berhubungan dengan penataan pembicaraan atau uraian tentang suatu hal. Hal ini menyangkut penggunaan kalmat. Pembicaraan yang menggunakan kalimat efektif akan lebih memudahkan pendengar menagkap isi pembicara.
b. Faktor Nonkebahasaan
Faktor-faktor nonkebahasaan mencakup (1) sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku , (2) pandangan yang diarahkan pada lawan bicara, (3) kesediaan menghargai pendapat orang lain, (4) kesediaan mengoreksi diri sendiri, (5) keberanian mengungkapkan dan mempertahankan pendapat, (6) gerak-gerik dan mimik yang tepat, (7) kenyaringan suara, (8) kelancaran, (9) penalaran dan relevansi, dan (10) penguasaan topik.
Faktor-faktor tersebut dibahas secara lebih mendalam berikut ini.
a) Sikap yang Wajar, Tenang, dan Tidak Kaku
Dalam berbicara, kita harus bersikap wajar, tenang, dan tidak
kaku. Bersikap wajar, berarti berbuat biasa sebagaimana adanya tidak mengada-ada. Sikap yang yang tenang adalah sikap dengan perasaan hati yang tidak gelisah, tidak gugup, dan tidak tergesa-gesa. Sikap tenang dapat menjadikan jalan pikiran dan pembicaraan menjadi lebih lancar. Dalam berbicara tidak boleh bersikap kaku, tetapi harus bersikap luwes dan fleksibel.
b) Pandangan Diarahkan kepada Lawan Bicara
Pada waktu berbicara pandangan kita harus diarahkan lawan bicara, baik dalam pembicaraan perseorangan maupun kelompok. Pandangan pembicara yang tidak diarahkan kepada lawan bicara akan mengurangi keefektivan berbicara, di samping itu, juga kurang etis. Banyak pembicara yang tidak mengarahkan pandangannya kepada lawan bicaranya, tetapi melihat ke bawah dan ke atas. Hal ini mengakibatkan perhatian pendengar menjadi berkurang.
c) Kesediaan Menghargai Pendapat Orang Lain
Menghargai pendapat orang lain berarti menghormati atau mengindahkan pikiran orang lain, baik pendapat itu benar maupun salah. Jika pendapat itu benar maka pendapat itulah yang harus kita perhatikan dan jka pendapat itu salah pendapat itu pun harus kita hargai karena memang itulah pengetahuan dan pemahamannya.
d) Kesediaan Mengoreksi Diri Sendiri
Mengoreksi diri sendiri berarti memperbaiki kesalahan diri sendiri. Kesdiaan memperbaiki diri sendiri adalah sikap terpuji. Sikap seperti ini sangat diperlukan dalam kegiatan berbicara agar diperoleh kebenaran atau kesepakatan. Sikap ini merupakan dasar bagi pembinaan jiwa yang demokratis.
e) Keberanian Mengemukakan dan Mempertahankan Pendapat
Dalam kegiatan berbicara terjadi proses lahirnya buah pikiran atau pendapat secara lisan. Untuk dapat mengungkapkan pendapat tentang sesuatu diperlukan keberanian. Seseorang mengemukakan pendapat di samping memiliki ide atau gagasan , juga harus memiliki keberanian untuk mengemukakannya. Ada orang yang mempunyai banyak ide namun ia tidak dapat mengungkapkannya karena ia tidak memiliki keberanian. Atau, sebaliknya ada orang yang berani mengungkapkan pendapat namun ia tidak atau kurang idenya sehingga apa yang ia ungkapkan terkesan asal bunyi.
f) Gerak – gerik dan Mimik yang Tepat
Salah satu kelebihan dalam kegiatan bericara dibandingkan dengan kegiatan berbahasa yang lainnya adalah adanya gerak-gerik dan mimik yang dapat memperjelas atau menghidupkan pembicaraan. Gerak-gerik dan mimik yang tepat akan menunjang keefektivan berbicara. Akan tetapi gerak-gerik yang berlebihan akan mengganggu keefektivan berbicara.
g) Kenyaringan Suara
Kenyaringan suara perlu diperhatikan oleh pembicara untuk menunjang keefktivan berbicara. Tingkat kenyaringan suara hendaknya disesuaikan dengan situasi, tempat, jumlah pendengar, dan akustik yang ada. Jangan sampai suara terlalu nyaring atau berteriak-teriak di tempat atau akustik yang terlalu sempit; atau sebaliknya, suara terlalu lemah pada ruangan yang luas, sehingga tidak dapat ditangkap oleh semua pendengar.
h) Kelancaran
Kelancaran seseorang dalam berbicara akan memudahkan pendengar menagkap isi pembicaraannya. Pembicaraan yang terputus-putus atau bahkan diselingi dengan bunyi-bunyi tertentu, misalnya, e…, em…, apa itu.., dapat mengganggu penangkapan isi pembicaraan bagi pendengar. Di samping itu, juga jangan berbicara terlalu cepat sehingga menyulitkan pendengar sukar menangkap isi atau pokok pembicaraan.
i) Penalaran dan Relevansi
Dalam berbicara, seorang pembicara hendaknya memperhatikan unsur penalaran yaitu cara berpikir yang logis untuk sampai kepada kesimpulan. Hal itu menunjukkan bahwa dalam pembicaraan seorang pembicara terdapat urutan pokok-pokok pikiran logis sehingga jelas arti atau makna pembicaraannya.
Relevansi berarti adanya hubungan atau kaitan antara pokok pembicaraan dengan urainnya.
j) Penguasaan Topik
Pengauasaan topik pembicaraan berarti pemahaman suatu pokok pembicaraan. Dengan pemahaman tersebut seorang pembicara memliki kesanggupan untuk mengemukakan topik itu kepada para pendengar. Oleh karena itu, sebelum melakukan kegiatan berbicara di depan umum seharusnya seorang pembicara harus menguasai topik terlebih dahulu. Sebab, dengan penguasaan topik akan membangkitkan keberanian dan menunjang kelancaran berbicara.
(4) Tujuan
Seorang pembicara dalam menyampaikan pesan kepada orang lain pasti mempunyai tujuan, ingin mendapatkan responsi atau reaksi. Responsi atau reaksi itu merupakan suatu hal yang menjadi harapan. Tujuan atau harapan pembicaraan ssangat tergantung dari keadaan dan keinginan pembicara.
Secara umum tujuan pembicaraan adalah sebagai berikut:
a. mendorong atau menstimulasi,
b. meyakinkan,
c. menggerakkan,
d. menginformasikan, dan
e. menghibur.
Tujuan suatu uraian dikatakan mendorong atau menstimulasi apabila pembicara berusahamemberti semangat dan gairah hidup kepada pendengar. Reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan inpirasi atau membangkitkan emosi para pendengar. Misalnya, pidato Ketua Umum Koni di hadapan para atlet yang bertanding di luar negeri bertujuan agar para atlet memiliki semangat bertanding yang cukup tinggi dalam rangka membela Negara.
Tujuan suatu uaraian atau ceramah dikatakan meyakinkan apabila pembicara berusaha mempengaruhi keyakinan, pendapat atau sikap para pendengar. Alat yang paling penting dalam uraian itu adalah argumentasi. Untuk itu diperlukan bukti, fakta, dan contoh konkret yang dapat memperkuat uraian untuk meyakinkan pendengar. Reaksi yang diharapkan adalah adanya persesuain keyakinan, pendapat atau sikap atas persoalan yang disampaikan.
Tujuan suatu uraian disebut menggerakkan apabla pembicara menghendaki adanya tindakan atau erbuatan dari para pendengar. Misalnya, berupa seruan persetujuan atau ketidaksetujuan, pengumpulan dana, penandatanganan suatu resolusi, mengadakan aksi sosial. Dasar dari tindakan atau perbuatan itu adalah keyakinan yang mendalam atau terbakarnya emosi.
Tujuan suatu uraian dikatakan menginformasikan apabila pembicara ingin memberi informasi tentang sesuatu agar para pendengar dapat mengerti dan memahaminya. Misalnya seorang guru menyampaikan pelajaran di kelas, seorang dokter menyampaikan masalah kebersihan lingkungan, seorang polisi menyampaikan masalah tertib berlalu lintas, dan sebagainya.
Tujuan suatu uraian dikatakan menghibur, apabila pembicara bermaksud menggembirakan atau menyenangkan para pendengarnya. Pembicaraan seperti ini biasanya dilakukan dalam suatu resepsi, ulang tahun, pesta, atau pertemuan gembira lainnya. Humor merupakan alat yang paling utama dalam uraian seperti itu. Reaksi atau response yang diharapkan adalah timbulnya rasa gembira, senang, dan bahagia pada hati pendengar.
(5) Sarana
Sarana dalam kegiatan berbicara mencakup waktu, tempat, suasana, dan media atau alat peraga. Pokok pembicaraan yang dipilih hendaknya disesuaikan dengan waktu yang telah ditentukan. Berbicara terlalu lama atau melebihi waktu yang di sediakan dapat menimbulkan rasa jenuh para pendengar.
Tempat berbicara sangat menentukan keberhasilan pembicaraan. Dalam hal ini perlu diperhatikan faktor lokasi, jumlah pendengar, posisi pembicara dan pendengar, cahaya, udara, dan pengeras suara. Berbicara pada suasana tertentu pun akan mempengaruhi keberhasilan pembicaraan. Pembicaraan yang berlangsung pada pagi hari tentu akan lebih berhasil dibandingkan dengan pembicaraan pada siang, sore, dan malam hari.
Media atau alat peraga akan membantu kejelasan dan kemenarikan uraian. Karena itu, jika memungkinkan, dalam berbicara perlu diusahakan alat bantu seperti film, gambar, dan alat peraga lainnya.
6) Interaksi
Kegiatan berbicara berlangsung menunjukkan adanya hubungan interaksi antara pembicara dan pendengar. Interaksi dapat berlangsung searah, dua arah, dan bahkan multi arah.
Kegiatan berbicara yang berlangsung satu arah, misalnya laporan pandangan mata pertandingan sepak bola, tinju, pembacaan berita. Kegiatan berbicara yang berlangsung dua arah, misalnya pembicaraan dalam bentuk dialog atau wawancara. Sedangkan kegiatan berbicara yang berlangsung multi arah biasanya terjadi pada acara diskusi, diskusi kelompok, rapat, seminar, dan sebagainya.
2. Pendengar
Suatu kegiatan berbicara akan berlangsung dengan baik apabila dilakukan di hadapan para pendengar yang baik. Karena itu, pendengar harus mengetahui persyaratan yang dituntut untuk menjadi pendengar yang baik
Pendengar yang baik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) memiliki kondisi fisik dan mental yang baik sehingga memungkinkan dapat melakukan kegiatan mendengarkan;
memusatkan perhatian dan pikiran kepada pembicaraan;
b) memiliki tujuan tertentu dalam mendengarkan yang dapat mengarahkan dan mendorong kegiatan mendengarkan;
c) mengusahakan agar meminati isi pembicaraan yang didengarkan;
d) memiliki kemampuan linguistik dan nonlinguistik yang dapat meningkatkan keberhasilan mendengarkan;
e) memiliki pengalaman dan pengetahuan luas yang dapat mempermudah pengertian dan pemahaman isi pembicaraan.
D.Jenis – Jenis Kegiatan Berbicara
Berbicara terdiri atas berbicara formal dan berbicara informal .Berbicara informal meliputi bertukar pikiran, percakapan, penyampaian berita, bertelepon, dan memberi petunjuk. Sedangkan berbicara formal antara lain, diskusi, ceramah, pidato, wawancara, dan bercerita (dalam situasi formal). Pembagian atau klasifikasi seperti ini bersifat luwes. Artinya, situasi pembicaraan yang akan menentukan keformalan dan keinformalannya. Misalnya : penyampaian berita atau memberi petunjuk dapat juga bersifat formal jika berita itu atau pemberian petunjuk itu berkaitan dengan situasi formal, bukan penyampaian berita antarteman atau bukan pemberian petunjuk kepada orang yang tersesat di jalan.
Berikut ini salah satu contoh pemberian petunjuk pada situasi formal.
Pemberian petunjuk seorang pemimpin kepada para bawahannya
Pemimpin : Saudara-saudara karyawan PT “A”
Pada pagi ini, saya akan menyampaikan informasi mengenai bagaimana membuat laporan yang baik.
Contoh berikut ini adalah pemberian petunjuk tidak formal.
Seorang perempuan tersesat di jalan dan ia tidak tahu ke mana arah menuju stasiun kereta. Ia bertemu dengan seorang pelajar putri dan bertanya,
Perempuan : De, ke mana arah stasiun kereta
Pelajar : Ibu mau ke mana
Perempuan : Ibu mau ke stasiun kereta
Pelajar : Dari sini Ibu jalan ke pertigaan lampu merah kira-kira 200 m dari pertigaan lampu merah Ibu belok ke kiri, kir- kira 100 m di situ stasiun kereta.
Perempuan : Terima kasih, De,
Pelajar : Terima kasih kembali, hati-hati Bu.
Berikut ini juga akan dicontohkan bertelepon yang dapat bersituasi informal.
Contoh : Bertelepon yang bersituasi informal
Dihan : Dihan di sini
Ibu Rita : Halo, saya Rita, dapatkah saya bicara dengan Pak Deni
Dihan : Maaf Bu, Bapak sedang dinas luar. Ada pesan, Bu?
Ibu Rita : Tolong sampaikan jasnya sudah jadi, Pak Deni bisa ngambil besok atau setelah ia kembali.
Terima kasih, De, Dihan.
Dihan : Sama-sama, Bu.
Contoh : Wawancara
Wawancara dilakukan di kantor Kepala Sekolah pada siang hari. Wawancara berlangsung formal karena suasana dan situasi jam kerja. Pewawancara ingin mengetahui lebih jauh mengenai keunggulan sekolah.
Pewawancara : Selamat pagi, Pak!
Kepala Sekolah : Selamat pagi.
Pewawancara :Terima kasih Pak, karena Bapak telah bersedia meluangkan waktu pagi ini untuk menjelaskan keunggulan sekolah yang Bapak pimpin. Begini, Pak, sudah tidak asing lagi bagi masyarakat bahwa sekolah ini termasuk sekolah yang diunggulkan atau sekolah unggulan, apa yang menyebabkan sekolah ini disebut sekolah unggulan?
Kepala Sekolah : Sebenarnya semua sekolah termasuk sekolah unggulan, namun, sekolah kami memang memiliki kelebihan dari sekolah yang lain di antaranya adalah disiplin, baik kepala sekolah, guru, siswa staf tata usaha, dan penjaga sekolah dengan kata lain semua elemen sekola berdisiplin. Karena, disiplin merupakan modal utama kemajuan sebuah sekolah.
Pewawancara : Selain disiplin, apakah karena di sekolah ini tempat anak orang yang memliki ekonomi menengah ke atas?
Kelapa Sekolah :Tidak, banyak di antara siswa kami yang orang tuanya berekonomi lemah, namun mereka memiliki semangat yang tinggi dalam belajar.
Pewawancara : Apakah siswa yang masuk di sekolah ini diseleksi
Kepala Sekolah : Ya, karena sekolah ini daya tampungnya terbatas, sedangkan peminatnya terlalu banyak. Oleh karena itu, siswa yang masuk ke sekolah ini kami seleksi
Pewawancara :Kalau begitu, siswa yang masuk sekolah ini memang benar unggul
Kepala Sekolah : Benar, tetapi jangan disalahtafsirkan bahwa siswa yang diterima di sekolah ini, mereka yang unggul intelegensinya saja tapi mereka unggul dalam arti yang memiliki sikap yang baik.
Pewawancara : Terima kasih Pak, atas penjelasan Bapak. Selamat siang.
Wawancara merupakan bentuk komunikasi khas karena jarang terjadi perubahan peran-peran pelaku komunikasi. Simak dialog sederhana di atas kemudian diskusikan dengan teman Anda. Selain wawancara dalam situasi formal terdapat pula bentuk penyampaian dengan diskusi (formal). Diskusi dapat berwujud diskusi kelompok, diskusi panel, seminar, pidato, ceramah. Oleh sebab itu, dipandang perlu untuk memberi penjelasan singkat mengenai hal tersebut.
1. Diskusi
Pada saat Anda menatar atau mengajar, Anda dapat meminta petatar atau siswa mendiskusikan materi penataran. Pada saat Anda rapat, misalnya, Anda dan teman-teman dapat mendiskusikan rencana pembangunan taman sekolah. Di kampung pun, ibu-ibu dapat berdiskusi mengenai rencana apa saja.
Pada tiga kalimat di atas menggunakan kata diskusi. Lalu, apakah Diskusi itu? Diskusi dapat diartikan sebagai ‘suatu proses bahasa lisan dalam bentuk Tanya jawab’ ( Bagaimana pendapat Anda, samakah dengan wawancara?) Selain itu, diskusi juga dapat dimaknai ‘suatu cara untuk memecahkan masalah dengan proses berpikir’ (Tarigan dalam Kisyani, 2003:22). Diskusi dapat juga berarti ‘pembicaraan antar dua atau lebih orang dengan tujuan untuk mendapatkan suatu pengertian, kesepakatan, atau keputusan bersama mengenai suatu masalah’. Diskusi juga diartikan ‘pertemuan ilmiah untuk membahas suatu masalah’ (Anton M. Moeliono, dkk., 1988:209).
Suatu diskusi akan berhasil baik apabila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut.
(1) Peserta dapat menerima tujuan diskusi;
(2) Peserta memahami permasalahan yang akan didiskusikan;
(3) Peserta memiliki rasa tanggung jawab untuk kelancaran diskusi dan memiliki sikap tenggang rasa serta saling menghormati;
(4) Pemimpin diskusi dan pembicara (jika ada) merupakan orang yang tegas, berwibawa, dan dihormati peserta diskusi;
(5) Pemimpin diskusi menjamin kebebasan para peserta diskusi untuk mengeluarkan pendapat (Kisyani, 2003:23).
Sehubungan dengan batasan bahwa diskusi ‘merupakan pertemuan ilmiah untuk membahas suatu masalah’, berikut ini dibahas mengenai bentuk penyampaian dalam diskusi formal yang meliputi diskusi kelompok, diskusi panel, seminar, simposium, konferensi, dan curah pendapat (brainstorming).
1) Diskusi kelompok
Kelompok dapat diterjemahkan ‘beberapa individu yang berkumpul dengan suatu tujuan’ atau ‘ kumpulan orang yang memiliki hubungan dengan pihak yang sama’ ( Anton M. Moeliono, dkk., 1988:412). Dengan demikian secara umum dapat sering diartikan bahwa diskusi kelompok adalah bertukar pikiran dalam musyawarah yang direncanakan atau dipersiapkan anatara dua orang atau lebih tentang topik dengan seorang pemimpin (Kisyani 2003:23). Diskusi kelompok sering juga disebut sebagai ‘percakapan terpimpin’.
Dalam diskusi kelompok biasanya dipimpin oleh seorang pemandu yang bertugas membuka dan menutup acara, mengendalikan jalannya diskusi dan membuat simpulan. Adapun sebagai nara sumber bertugas memberikan informasi yang diperlukan, menelaskan hal-hal yang tidak dipahami peserta diskusi dan membuat kesepakatan bersama dan putusan akhir.
Sebagai seorang pemandu diskusi biasanya mengucapkan salam pembuka, mengucapkan terima kasih, mengutarakan tujuan diskusi, dan acara diskusi secara garis besar. Kemudian, pada saat menutup diskusi 0biasanya pemandu membacakan atau menyampaikan simpulan atau rangkuman pembicaraan, ucapan terima kasih, harapan, dan salam penutup.
Berikut ini secara umum dipaparkan langka-langkah atau tata cara dalam diskusi kelompok adalah sebagai berikut.
(a) Pemandu membuka diskusi kelompok
Pada saat membuka diskusi kelompok seorang pemandu dapat mengucapkan salam pembuka dan mengemukakan masalah yang aka didiskusikan.
(b) Dilakukan pembicaraan hakikat masalah yang didiskusikan
Hakikat masalah yang didiskusikan disampaikan oleh pembicara (peran pembicara dapat dirangkap oleh pemandu). Dalam hal ini pembicara dapat mengemukakan bagian-bagian penting masalah yang akan didiskusikan.
(c) Pencarian sebab yang menimbulkan masalah
Pencarian sebab dapat pula dikemukakan oleh pembicara. Dalam hal ini tidak tertutup kemungkinan bahwa peserta diskusi akan ikut menyumbangkan suara dalam merumuskan sebab-sebab yang menimbulkan masalah.
(d) Pendiskusian mengenai kemungkinan cara pemecahan masalah yang dapat digunakan.
(e) Setiap kemungkinan pemecahan masalah dipertimbangkan baik
buruknya, kemudian dipilih cara pemecahan yang terbaik. Cara pemecahan yang dipilih adalah cara yangmerupakan pemufakatan dari hasil musyawarah. Namun, andaikan tujuan diskusi bukan untuk memecahkan masalah, tetapi untuk menampung pendapat, pemecahan masalah tidak mutlak dilakukan.
(f) Pemandu menutup diskusi kelompok
Pada saat menutup diskusi kelompok dapat dikemukakan hasil diskusi, harapan-harapan, dan salam penutup.
2) Diskusi Panel
Diskusi panel adalah diskusi yang dilakukan oleh sekelompok orang yang disebut panelis yang membahas suatu masalah atau topik yang menjadi perhatian umum di depan khalayak atau pendengar atau penonton. Misalnya:
Dua atau tiga orang yang mempunyai keahlian atau dianggap ahli dalam bidang tertentu mendiskusikan suatu masalah yang dipimpin oleh seorang pemandu atau moderator di hadapan khalayak, pendengar atau penonton. Dalam kegiatan ini penonton dapat diberi kesempatan untuk bertanya, menyanggah atau berkomentar sesuai dengan tata tertib atau kesepakatan antara para panelis dan moderator diskusi panel.
Langkah-langkah pembicaraan atau tata cara dalam suatu diskusi panel adalah sebagai berikut.
(a) Pemandu membacakan tata tertib dan memperkenalkan para panelis
(b) Panelis pertama diberi kesempatan berbicara dalam waktu yang telah ditentukan dalam tata tertib. Panelis pertama ini menjelaskan masalah dan pandangannya terhadap masalah sesuai dengan keahliannya.
(c) Panelis kedua mengutarakan pendapat dan pandangannya terhadap masalah yang dibicarakan sesuai dengan keahliannya. Waktu yang digunakan panelis kedua ini sama dengan waktu yang digunakan oleh panelis pertama.
(d) Panelis ketiga diberi kesempatan untuk berbicara sesuai dengan keahliannya. Waktu yang digunakan sama dengan panelis pertama dan kedua.
(e) Setelah semua panelis mengutarakan pandangan mereka, diadakan diskusi informal antarpanelis disertai penjelasan mengapa mereka berbeda pendapat mengenai masalah itu.
(f) Pemandu menutup diskusi dengan menyimpulkan hasil pembicaraan para panelis. Sedangkan khalayak tidak berpartisipasi aktif dalam diskusi ini. Akan tetapi, dalam bentuk panel forum khalayak dapat berpartisipasi aktif atau mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat. Jadi yang dimaksud dengan forum ini adalah forum terbuka, ada tanya jawab antara khalayak dengan panelis.
3) Seminar
Seminar merupakan jenis diskusi kelompok yang diikuti oleh para ahli dan dipimpin oleh seorang pemandu untuk mencari pedoman dan penyelesaian masalah tertentu. Hasil pemikiran atau hasil penelitian yang akan disampaikan oleh pembicara atau penyanggah utama sebaiknya ditulis dalam kertas kerja atau makalah. Langkah-langkah pembicaraan atau tata cara seminar adalah sebagi berikut.
(a) Pemandu membuka seminar, membacakan tata tertib, dan memperkenalkan pembicara (serta penyanggah utama dan pembanding jka ada).
(b) Pembicara menyampaikan pandangannya terhadap masalah yang telah ditentukan.
(c) Pembicara kedua memgutarakan pandangannya.
(d) Pembicara ketiga diberi kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapatnya.
(e) Apabila ada penyanggah atau pembanding diberi kesempatan untuk menyampaikan sanggahannya.
(f) Peserta seminar diberi kesempatan untuk menanggapi.
(g) Dibentuk kelompok kecil untuk membahas setiap makalah atau kertas keja dan merumuskan hasil (oleh tim perumus).
(h) Pemandu mengakhiri dan menutup seminar.
2. Pidato
Pidato adalah pengungkapan pikiran oleh seseorang dalam bentuk lisan yang ditujukan kepada orang banyak. Misalnya:
(1) Pidato kenegaraan, yaitu pidato Kepala Negara di depan anggota DPR/MPR;
(2) Pidato pengukuhan, yaitu pidato yang disampaikan oleh seorang pejabat setingkat rektor universitas pada saat diangkat secara resmi;
(3) Pidato perpisahan.
3. Ceramah
Ceramah adalah ungkapan pikiran secara lisan oleh seseorang tentang sesuatu atau pengetahuan kepada para pendengar. Dalam ceramah ada beberapa hal yang merupakan ciri khas, yaitu:
(a) adanya suatu yang dijelaskan atau diinformasikan untuk memperluas pengetahuan para pendengar, biasanya disampaikan oleh seseorang yang memiliki keahlian atau pengetahuan di bidang tertentu;
(b) terdapat komunikasi dua arah antara peceramah dengan pendengar yaitu, berupa dialog atau tanya jawab;
(c) dapat menggunakan alat bantu (over head projector, gambar untuk menjelaskan uraian).
DAFTAR PUSTAKA
Moeliono, Anton, M. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Arsyad, Maidar G. dan Mukti U.S. 1988. Pembinaan Keterampilan Berbicara Ba hasa Indonesia. Erlangga. Jakarta.
Cirtobroto, R.I., Suhartin 1982. Prinsip dan Teknik berkomunikasi. Jakarta: Bhatara Karya Aksara
Dipodjojo, Asdi S. 1982. Komunikasi Lisan. Yogyakarta: PD Lukman.
Hastuti P.H. ,Sri. Dkk.1985.Kemampuan Bebahasa Indonesia Murid Sekolah Dasar Kotamadya Surabaya. Jakarta: Depdikbud.
Kerasf, Gorys.1980. Komposisi. Ende: Nusa Indah
Kisyani-Laksono. 1999. Teori Berbicara. Surabaya: Unesa University Press.
Pr. M. basir, Udjang. Pengajaran Keterampilan Bahasa di Sekolah: Suatu
Konsep Pengembangan Kompetensi Bahasa . Lidah, Jurnal Pendidikan Bahasa dan sastra. Volume 1, tahun 2003. Univ. Negeri Surabaya: FBS.
Nurgiyantoro, Burhan. 1988. Penilaian dalan Pengajaran Bahasa dan Sastra Yogyakarta: BPPE.
Tarigan, Djago. 1990. Materi Pendidikan Bahasa Indonesia I, Buku1—6. Jakarta: Depdikbud.
Tarigan, Djago, Martini, dkk. 1997/1998. Pengembangan Keterampilan Berbicara, Jakarta: Depdikbud.
Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan. 1980. Teknik Pengejaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry guntur. 1983. Berbicar sebagai Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Yasin, Salchan. 1991. Contoh Praktis MC(Pembawa Acara) dan Pidato. Surabaya: Mekar.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment